Sabtu, 29 November 2008

kearifan timur sebuah fenomena angkringan di jogja


Thomas Friedman berujar bahwa dunia bagaikan golden straitjacket yang terhubung satu sama lain. Dunia menjadi borderless. Batas-batas geografis dan regional menjadi tidak relevan. Akibatnya, aliran informasi, modal, kepentingan, menjadi sangat mudah dilakukan dengan cepat, tepat, dan efektif.

Jaman sekarang, badai globalisasi maupun kapitalisme memang menjadi sesuatu yang mustahil untuk ditampik. Sayangnya, yang datang ke kita justru lebih banyak pengaruh negatifnya. Sebut saja sikap konsumtif, hedonisme, pola hidup serba instan, anti aktualisasi diri, dan sebagainya. Friedman menggambarkan Lexus untuk mewakili negara yang sukses menyiasatinya dan Olive Tree sebagai negara-negara gagal seperti kita.

Memang lebih mudah menempatkan orang (bangsa) lain di balik kegagalan tersebut. Sebutlah tekanan kepentingan negara adidaya terhadap negara berkembang seperti kita. Inisiatif buruk korporasi-korporasi asing yang memiliki kekuatan modal penuh. Kekuatan-kekuatan terselubung yang tidak ingin Islam di negeri ini berkembang. Dan seribu satu alasan lainnya.

Saya lebih suka berkaca pada diri kita sendiri.

Lagi: Sindrom Inferioritas
Harus diakui bahwa kegagalan pendidikan formal dan miskinnya pendidikan lingkungan mengakibatkan gagalnya pembentukan karakter yang baik. Tontonan televisi juga mendukung ke arah sikap mental yang destruktif. Sadar atau tidak, secara berjamaah media, public figure, tokoh terkemuka, dan pemuka masyarakat ikut menggerakkan ke arah yang sama: aliran pesimistis terhadap bangsa dan negaranya sendiri. Kelakuan birokrat yang membuat malu dan memiskinkan negara ikut memperburuk suasana. Padahal, yang kita butuhkan adalah optimisme dengan wajar, apa adanya, namun tetap kritis.

Coba kita lihat sekitar kita. Kita jadi merasa inferior, bahwa apa yang melekat dalam diri kita adalah senantiasa buruk. Sebaliknya, kita jadi terdorong untuk berucap bahwa apa yang melekat di dunia barat –sebagai pemenang dalam globalisasi– adalah selalu bagus.

Indonesia dianggap selalu kalah bersaing dari Amerika.
Orang-orang asing dibilang lebih bagus daripada orang-orang lokal.
Produk dalam negeri diasumsikan selalu inferior dibanding produk luar negeri.
Budaya Jawa dianggap kurang progresif dibanding budaya luar negeri.
Ayam goreng Suharti kalah gengsi daripada McDonald’s.
Faktanya, dalam beberapa hal kita bisa lebih unggul dari bangsa lain.

Keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam kita membuat iri bangsa lain.
Pelajar-pelajar Indonesia terbukti telah memenangkan olimpiade internasional.
Profesor termuda di Amerika adalah orang asli Indonesia.
Orang-orang luar negeri ternyata banyak juga yang malah mempelajari budaya-budaya daerah kita.
Kandungan lemak dan kolesterol McDonald’s lebih tinggi dari makanan kita.
Kembali ke Timur
Dalam dunia bisnis sendiri, kita juga terlalu sering berkiblat ke barat. Jepang, India, China mungkin sedang sangat berkembang saat sekarang. Namun, tetap saja dunia barat menyilaukan mata kita.

Dosen saya dulu pernah memutarkan film tahun 1987 berjudul Wall Street yang menggambarkan pasar saham Amerika lengkap dengan intrik dan polemik di dalamnya. Gordon Gekko, tokoh fiktif dalam film tersebut dengan bangga mengutip The Art of War dari Sun Tzu. Gekko juga terkenal dengan quotenya, “greed is good.” Konsep tersebut, boleh dibilang adalah konsep yang dianut mayoritas entitas bisnis di era 1980-an hingga 1990-an.

Saat sekarang, sekolah-sekolah bisnis di Amerika banyak merekrut pengajar berkebangsaan India. Sebut saja Vijay Govindarajan (Tuck School of Business/Dartmouth College), Dipak Jain (Kellogg School of Business), Rakesh Khurana (Harvard Business School), C.K. Prahalad (University of Michigan), Ram Charan (mantan dosen Harvard), dan masih banyak lagi.

Walau tidak dilakukan secara serentak, baru-baru ini mereka mencetuskan konsep baru dalam dunia bisnis yang berkaca dari budaya timur. Mereka memaparkan konsep seperti memosisikan individu (karyawan dan konsumen) sebagai pusat, mendahulukan tujuan bersama sebelum diri sendiri, menempatkan kepentingan sosial (stakeholder) sebagai prioritas, penguasaan diri untuk meningkatkan kapasitas diri dan menemukan kedamaian spiritual, pentingnya kecerdasan emosional dan service leadership, dan seterusnya. Konsep-konsep tersebut sangat terinspirasi oleh Bhagavad Gita, naskah Hindu kuno yang memuat kebijaksanaan Krishna.

Walaupun sedang ngetren di sekolah-sekolah bisnis barat, konsep semacam itu sesungguhnya tidaklah benar-benar baru “bagi” kita. Nenek moyang kita terkenal dengan falsafah hidup yang mengutamakan kepentingan bersama atas individu. Orang-orang Jawa mengajarkan kita dengan falsafah yang senantiasa legawa, jumawa, ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha. Saya yakin, konsep-konsep serupa juga ada dalam suku/golongan lain di negeri ini.

Dalam Qur’an, kita juga selalu diajarkan untuk bersikap rendah hati. Kita diajarkan tentang ketenangan hati, kecerdasan emosional, sikap mental positif, serta perilaku yang senantiasa arif dan bijaksana. Pun dalam berbisnis, kita selalu ditekankan untuk menjalankan bisnis kita dengan lurus, tanpa mengambil hak orang lain. Kepedulian terhadap sesama dan arti kepentingan sosial juga selalu ditekankan. Doing the things right dan doing the right things adalah sesuatu yang mutlak.

Fenomena Angkringan
Anyway, baru-baru ini, saya sedang mengamati angkringan di dekat rumah. Angkringan –yang menurut saya merupakan unit bisnis khas Jawa– sebenarnya memuat banyak konsep bisnis yang tak kalah hebat dengan yang termuat dalam studi-studi kasus di sekolah-sekolah bisnis terkemuka di barat. Berikut beberapa contohnya.

Kepercayaan (trust). Coba kita lihat restoran-restoran waralaba asal barat. Sebagai konsumen, kita sering “dilecehkan” integritasnya. Kita harus bayar di muka sebelum kita bisa menyentuh apa yang kita pesan. Warung-warung makan asli Indonesia tidak mengenal konsep semacam itu. Kalau kita makan di angkringan, kita selalu bayar di belakang. Bahkan bisa ngutang. Penjual juga tidak pernah “mem-bill” dengan teliti. Jadi, tergantung kita ngaku udah nyomot berapa biji saja.

Perhatian pada pelanggan (customer intimacy). Saya belum pernah melihat ada kedekatan yang begitu bagus selain di angkringan. Penjual angkringan biasanya selalu menyapa dengan ramah, menanyakan kabar kita, dan berbicara dengan ramah tentang ini-itu. Kalau kita nongkrong terlalu lama tapi nggak beli apa-apa, penjual juga nggak akan marah. Seneng malah.

Murah meriah (cost leadership). Berdasar pengalaman saya, angkringan adalah salah satu penyedia makanan yang sangat murah. Saya malah sering menghitung bahwa tak jarang mereka “jual rugi.” Padahal, restoran-restoran barat yang sering kita banggakan malah menjual dengan harga cukup tinggi –belum lagi tambahan PPn yang dibebankan. Walau begitu, angkringan termasuk unit bisnis yang sustainable –bahkan di era ekonomi yang begitu sulit. Penjual angkringan dekat rumah malah bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai sarjana.

Tukul Arwana, alias Reynaldi, bisa dibilang adalah salah satu figur yang cukup percaya diri dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Di tengah karir yang menanjak, dia juga tidak terjebak pada pro-hedonisme instan. Dulu dia merintis karir dari nol, mendaki dengan cukup terjal, tapi setelah cukup sukses pun juga masih gitu-gitu aja. Dia juga sangat bangga dengan budaya bangsa dan negaranya.

Mas Tukul saja bisa. Kenapa kita nggak?

seni mendengarkan


“If wisdom’s ways you would wisely seek, these five things observe with care: of whom you speak, to whom you speak, how, when, and where.”

Sewaktu masih kuliah dulu, saya pernah berkonsultasi tentang hal sepele dengan seorang dosen yang juga businessman sukses. Di luar dugaan, beliau mendengarkan “keluhan tidak penting” saya dengan penuh atensi sembari menjaga kontak mata dan body language yang positif — seolah-olah saya orang yang mahapenting di matanya.

Berbeda dengan tipikal dosen lain yang cenderung (maaf) meremehkan mahasiswanya, anomali ini tentu merupakan ketidakbiasaan. Ketika saya tanyakan, beliau menjawab, “Listening is one of the most effective ways of learning what others value. When I listen to you, I learn what you value.” Katanya, ini adalah skill dan attitude yang mutlak dimiliki siapapun agar bisa memahami dan menghargai orang lain pada tingkat yang lebih tinggi.

Mendengarkan (listening) merupakan salah satu skill yang harus dimiliki siapapun — tak cuma pemimpin bisnis atau pejabat pemerintah, tetapi juga kita sendiri. Mendengarkan bukan merupakan solo performance, melainkan circular connection yang saling terkait. I listen, you respond; you listen, I respond.

Seperti kita tahu, komunikasi merupakan proses penyampaian ide antara dua pihak yang berbeda. Agar berjalan dengan efektif, kita tak cuma harus menjaga apa yang kita ucapkan — melainkan juga mendengarkan dengan engagement yang penuh. Dosen saya itu juga berpesan, “When it’s obvious we’re not being heard, it’s time to listen, time to deliver the message differently.”

Dalam dunia bisnis, kemampuan mendengarkan menjadi sangat krusial. Seorang pemimpin (leader) bertanggung jawab terhadap kinerja dan hasil dalam suatu organisasi. Sukses tidaknya leader dipengaruhi oleh sebarapa efektif ia memobilisasi orang-orang di sekitarnya dengan misi, visi, nilai yang diemban organisasi; serta bagaimana orang-orang tersebut mendengar customer dengan baik. Dengan itu kita juga akan mendapatkan feedback positif yang berguna bagi pertumbuhan dan produktivitas.

Mendengarkan orang lain memang penting. Tetapi bagaimana kita mendengarkan hati kita — our inner self — juga tak kalah penting. Semakin tinggi intelektualitas seseorang semakin mudah mengabaikan bisikan hati kita. Makin sering kita mengabaikan, makin mudah kita menjadi seorang yang ignorant.

Kenapa bangsa ini terpuruk dan carut marut tak karuan? Kenapa bangsa ini mulai kehilangan nilai-nilai ketimurannya? Barangkali karena kita terlalu banyak berbicara — bukannya mendengarkan orang-orang di sekeliling kita dan memperhatikan apa-apa yang ada di sekitar kita.

Mungkin inilah saatnya untuk mulai belajar menghargai orang lain. Belajar mendengarkan orang lain.

pola pikir orang kaya

Anda pernah mendengar nama Robin Hood? Tokoh ini
sangat digemari oleh banyak orang karena kisah heroiknya yang
merampok uang dari orang-orang kaya dan kemudian membagi-bagikan
hasilnya secara merata bagi semua orang miskin.

Apabila kita melihat dari sisi radikal, tingginya popularitas
dari Robin Hood ini memperlihatkan bahwa banyak orang yang
merasa bahwa dunia ini tidak adil karena orang-orang yang kaya
bisa memiliki uang begitu banyaknya. Memang fakta menunjukkan
bahwa sebagian besar uang yang beredar ini dikuasai oleh hanya
sebagian kecil dari masyarakat.

Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana kondisi dunia apabila
Robin Hood berhasil mengumpulkan semua uang yang ada dan
membagikannya secara merata ke semua orang? Sekilas dunia
tampak lebih indah. Tidak ada lagi orang kaya, dan tidak ada
lagi orang miskin. Semua orang hidup dengan kemakmuran yang
sama.

Marshall Sylver, di dalam bukunya yang berjudul Passion Profit
Power, menjelaskan lebih detil mengenai pertanyaan diatas.
Apa jadinya dunia ini apabila uang yang ada dibagikan secara
merata ke semua orang? Dan ternyata jawabannya cukup menyedihkan.
Dalam waktu 5 tahun, komposisi uang akan kembali seperti semula.
Orang-orang yang dulunya kaya akan kembali menguasai sebagian
besar uang yang ada.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya ada pada pola pikir orang
mengenai uang yang dimilikinya. Kebanyakan orang, yang pada
akhirnya akan kembali miskin, akan berpikir "Enaknya uang ini
digunakan untuk membeli apa ya?". Kemudian uangnya dihabiskan
untuk membeli barang-barang, berlibur ataupun bersenang-senang.
Singkat kata, konsumtif. Setelah seluruh uang dibelanjakan,
mereka kembali menjadi miskin.

Hal yang berbeda terjadi pada orang kaya. Orang kaya akan berpikir
bagaimana caranya untuk memanfaatkan uangnya agar dapat mendatang-
kan uang lebih banyak lagi. Mereka akan menggunakan uangnya untuk
membuka usaha, ataupun berinvestasi. Akhirnya mereka akan mengumpul-
kan uang jauh lebih banyak dari orang biasa.

Kebanyakan orang tidak bisa menerima kenyataan ini. Orang-orang
yang miskin lebih cenderung untuk menyalahkan lingkungan, orang
lain ataupun nasib. Ini adalah tindakan yang tidak tepat. Tindakan
menyalahkan tidak akan merubah orang miskin menjadi kaya.Parahnya kebanyakan orang miskin mati2an bergaya hidup sok kaya meski harus ditebus dengan segala cara
yang mengakibatkan maaakkkiiiin miskin.........

Minggu, 23 November 2008

penerbangan bersama teman2 tkw

Dan bicara soal TKI/TKW, saya pernah punya pengalaman unik dengan mereka. Dalam suatu penerbangan menuju Indonesia, saya bersama dengan mereka yang menguasai sekitar 70 persen lebih dari total penumpang. Mereka berasal dari Indramayu, Cianjur, Temanggung, Pati, Wonosari, dan daerah “lapis kedua” lainnya.

Dalam bandara, jujur saja, tingkah mereka boleh dibilang unik. Misalnya ketika melewati pemeriksaan dan boarding, mereka kebingungan saat ditanyai petugas. Ketika dibawa menggunakan bus menuju pesawat, ada yang malah bingung mencari temannya. Saat akan naik pesawat, ada yang nampaknya kelupaan barang bawaannya. Namun entah grogi atau takut untuk menanyai ground crew di situ, ia cuma maju mundur dan celingukan.

Di atas pesawat, mereka juga lucu-lucu. Paling umum adalah salah tempat duduk. Ada yang ngotot ingin sebelahan dengan rekannya. Ada yang heboh memainkan monitor di belakang headrest. Dan tak sampai 15 menit di udara, kemudian tercium bau balsem yang menyengat. Malah pernah ada yang buang hajat di lavatory namun tak di-flush—-mungkin lupa atau tak tahu caranya.

Sepanjang perjalanan pun mereka selalu menghibur dengan rumpian yang cukup keras dalam berbagai bahasa antara betawi, sunda, jawa, madura, dan indonesia. Malah saat flight attendant menawarkan meal atau beverages, ada yang spontan menyahut dengan bahasa sunda. Sementara sebagian yang lain menjawab ala kadarnya ditambah bahasa tarzan sembari menunjuk sana-sini.

Tapi yang membuat saya gemes adalah ketaktahuan mereka tentang aturan keselamatan dalam penerbangan. Misalnya mengeratkan seatbelt, menegakkan tempat duduk, melipat meja, atau mematikan piranti elektronik saat take off maupun landing. Sialnya, salah satu TKW di kanan saya malah menyalakan ponsel saat approaching beberapa detik menjelang landing. Gila.

Yang juga tak kalah gemes dari saya mungkin pramugari yang kerepotan mengingatkan mereka karena buru-buru berdiri dan mengambil overhead baggage padahal pesawat sedang taxiing dan belum docking. Ketika akan keluar pun mereka uyel-uyelan nggak jelas dan bersuara ramai sekali.

Saya memahami keluguan dan ketidaktahuan mereka tentang hal-hal semacam itu. Lebih prihatin lagi karena saya praktis tak bisa berbuat apa-apa buat membantu mereka.

Namun yang membuat saya benar-benar sedih adalah saat sampai di Soekarno-Hatta.

Mereka digiring ke loket imigrasi khusus. Tak lama ada petugas yang mendekati dengan ramah, nampaknya menawarkan “sesuatu” ke mereka. Setelah melalui pemeriksaan paspor, mereka dicegat dan digiring lagi ke loket penukaran uang yang saya lihat rate-nya terlalu tidak masuk akal. Hampir semuanya terjebak di situ.

Tak berhenti di situ, saat hendak mengambil bagasi di carousel, ada porter yang mendekati sembari menawarkan macam-macam. Ada ibu-ibu yang bilang bahwa ia dipaksa untuk diambilkan kopernya dan diantar menggunakan bis dengan ongkos Rp. 800 ribu. Tentu saja kalau koper itu sudah berada di tangan mereka, akan sangat susah untuk mengambil kembali tanpa memberi sejumlah uang.

Pun ketika hendak keluar pemeriksaan terakhir, ada juga oknum petugas yang mencegat dan menginterogasi macam-macam. Mungkin juga dipaksa untuk bayar ini-itu.

Kebetulan waktu itu saya sedang bersama teman yang baru pulang cuti dan (sialnya) ketika akan keluar, ada petugas perempuan yang mencegat dan bertanya dengan tidak sopan, “Mau kemana? TKI/W keluar lewat sana!” Setelah kalah argumentasi, petugas itu langsung ngeloyor entah kemana.

Kata teman saya, ini masih mendingan karena kami tiba sekitar pukul 10 malam. Kalau di siang hari, praktek-praktek semacam itu bisa jauh lebih heboh lagi.

Memang kasihan mereka. Setiap datang masih dipungut Rp 25 ribu. Padahal sebelum berangkat sudah dipungut US$ 15 untuk subsidi. Belum termasuk sekitar Rp 5 juta untuk pengurusan paspor dan administrasi lainnya. Resminya, pengantaran ke daerah seperti Cianjur hanya Rp 185 ribu, namun tak jarang yang apes kehilangan sampai Rp 1 juta. Kalikan saja dengan traffic TKI/TKW yang 500 orang per hari atau 2 ribu orang per hari seperti saat ini.

Padahal sebelum berangkat mereka sudah jor-joran menjual harta benda atau mengijon kiri-kanan. Mereka juga meninggalkan suami/istri dan anak dalam waktu yang sangat lama. Sialnya, biarpun mereka menghasilkan devisa sampai Rp 15 triliun per tahun, keberadaan mereka masih dilihat sebelah mata.

Big question saya adalah apakah benar bahwa di dalam bandara memang ada konspirasi besar yang terorganisir dalam memeras para pahlawan devisa kita? Karena sepanjang pengamatan saya, mereka semua mengenakan seragam dan name tag resmi.

Kalau memang demikian adanya, berarti kita adalah salah satu bangsa yang paling tak beradab di dunia ini.

Di negeri sendiri, kita tak bisa memberi mereka keterampilan yang memadai maupun pekerjaan yang layak. Ketika mereka di seberang sana, kita juga tak melindungi mereka dari pemberi kerja yang semaunya sendiri. Pun ketika mereka kembali ke tanah air, kita sudah siap merampok harta mereka.

Kurang hina apa lagi bangsa ini?

Simpati saya buat rekan-rekan TKI dan TKW semua.

TOLAK PEMBERIAN GELAR GURU BANGSA BUAT SOEHARTO


Bulan November 41 tahun lalu, Jenderal Suharto yang telah sukses mengkudeta Bung Karno, mengirim satu tim ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli, Prof. Soemitro Djoyohadikusumoh, dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS—sebab itu tim ekonomi ini juga disebut sebagai ‘Berkeley Mafia’—ke Swiss. Mereka hendak menggelar pertemuan dengan sejumlah konglomerat Yahudi dunia yang dipimpin Rockefeller.

Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul “The New Ruler of the World’ yang bisa didownload di situs youtube, tim ekonomi suruhan Jenderal Suharto ini menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan Rockefeler cs. Dengan seenak perutnya, mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.

Sampai detik ini, saat Suharto sudah menemui ajal dan dikuburkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Imogiri, di sebuah daratan dengan ketinggian 666 meter di atas permukaan laut (!?), perampokan atas seluruh kekayaan alam negeri ini masih saja terus berjalan dan dikerjakan dengan sangat leluasa oleh berbagai korporasi Yahudi Dunia. Hasilnya bisa kita lihat di mana-mana: angka kemiskinan di negeri ini kian membengkak, kian banyak anak putus sekolah, kian banyak anak-anak kecil berkeliaran di jalan-jalan raya, kian banyak orangtua putus asa dan bunuh diri, kian banyak orang gila berkeliaran di kampung-kampung, kian banyak kriminalitas, kian banyak kasus-kasus korupsi, dan sederet lagi fakta-fakta tak terbantahkan jika negeri ini tengah meluncur ke jurang kehancuran. Suharto adalah dalang dari semua ini.

Tapi siapa sangka, walau sudah banyak sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari dalam dan luar negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat Jenderal Suharto berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan jutaan fakta dan dokumen yang tak terbantahkan, namun nama Suharto masih saja dianggap harum oleh sejumlah kalangan. Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal Keras Kepala (Belanda: Koepeg) diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar guru bangsa. Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.

Sebab itu, tulisan ini berusaha memaparkan apa adanya tentang Jenderal Suharto. Agar setidaknya, mereka yang menganggap Suharto layak diberi gelar guru bangsa atau pun pahlawan nasional, harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang lebih dalam, sudah benarkah tindakan tersebut.

Fakta sejarah harus ditegakkan, bersalah atau tidak seorang Suharto harus diputuskan lewat jalan hukum yakni lewat jalur pengadilan. Adalah sangat gegabah menyerukan rakyat ini agar memaafkan dosa-dosa seorang Suharto sebelum kita semua tahu apa saja dosa-dosa Suharto karena dia memang belum pernah diseret ke muka pengadilan.

Tulisan ini akan berupaya memotret perjalanan seorang Suharto, sebelum dan sesudah menjadi presiden. Agar tidak ada lagi pemikiran yang berkata, “Biar Suharto punya salah, tapi dia tetap punya andil besar membangun negara ini. Hasil kerja dan pembangunannya bisa kita rasakan bersama saat ini. Lihat, banyak gedung-gedung megah berdiri di Jakarta, jalan-jalan protokol yang besar dan mulus, jalan tol yang kuat, Taman Mini Indonesia Indah yang murah meriah, dan sebagainya. Jelas, bagaimana pun, Suharto berjasa besar dalam membangun negara ini!”

Atau tidak ada lagi orang yang berkata, “Zaman Suharto lebih enak ketimbang sekarang, harga barang-barang bisa murah, tidak seperti sekarang yang serba mahal. Akan lebih baik kalau kita kembali ke masa Suharto…” Hanya orang-orang Suhartoislah, yang mendapat bagian dari pesta uang panas di zaman Orde Baru dan mungkin juga sekarang, yang berani mengucapkan itu. Atau kalau tidak, ya bisa jadi, mereka orang-orang yang belum tercerahkan. (bersambung)

Minggu, 02 November 2008

madu obat luka diabetes

Commission on Scientific Signs of Qur’an & SunnahAdalah lembaga pengkajian aspek Sains & teknologi dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Didirikan pada tahun 1987 di bawah suvervisi Rabithah Alam Islami di Makkah Al-Mukarromah. Penggagasnya adalah seorang ulama asal Yaman, Syekh Abdul Majid Zendani. Beliau adalah seorang ahli farmasi yang sangat menguasasi sains moderen, tafsir dan hadits. Sekarang dipimpin oleh Syekh Dr. Abdullah Al-Mushlih, seorang ulama Saudi Arabia.

Majalah Al-I’jaz Al-Ilmi No 30, Jumadil Akhir 1429
Seorang dokter wanita Amerika sampai kepada suatu kebenaran/kepastian yang disebutkan Al-Qur’an Al-Karim dan dijelaskan Rasul Saw lebih dari 14 abad silam. Kebenaran tersebut ialah bahwa di dalam madu lebah terdapat kandungan obat untuk manusia.
Pengobatan terhadap penyakit diabetes merupakan bagian manfaat medis yang luar biasa yang terkandung dalam madu lebah yang sudah menjadi rekomendasi dalam dunia kedokteran Islam. Yang baru dari penemuan tersebut ialah bahwa kalangan ilmuan Amerika merekomendasikan keharusan merujuk (mejadikan referensi) kepada warisan Islam terkait dengan pengobatan melalui madu lebah.
Pada tahun 2002, Catherina Hulbert, seorang warga Negara Amerika mengalami kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kakinya luka parah. Saat kecelakaan itu dia sudah menderita penyakit diabetes. Sebab itu, luka yang dideritanya tidak kunjung sembuh kendati sudah mengkonsusmsi berbagai obat dan anti biotic. Kondisi seperti itu dia alami selama delapan bulan.
Setelah melihat kondisi lukanya yang tak kunjung membaik, maka Dr Jennifer Eddy dari fakultas kedokteran Universitas Wisconsin menganjurkan untuk menggunakan madu lebah sebagai obat yang dioleskan di tempat luka. Setelah beberapa bulan melakukan pengabotan dengan madu lebah tersebut luka kaki Catherina Hulbert-pun sembuh total. Kasus tersebut menyebabkan Dr Jennifer Eddy memperoleh dukungan dari Akedemi Amerika Untuk Dokter Keluarga di wilayah Wisconsin untuk meneruskan kajiannya khusus pengobatan melalui madu lebah.
Dr Jennifer juga menjelaskan, sebelumnya dia juga pernah mengobati salah seorang pasien diabetes yang sedang menghadapi fonis amputasi setelah berbagai pengobatan yang dijalankan sang pasien mengalami kegagalan. Dr Jennifer juga menambahkan bahwa terbuktilah sudah di kalangan para ahli medis bahwa mengobati luka akibat diabetes dengan madu lebah memiliki manfaat yang banyak, khususnya bagi para pengidap penyakit diabetes di dunia saat ini jumlah mereka mencapai sekitar 200 juta orang. 15 % dari mereka mengalami sampai ke tingkat “tukak” (membusuk) sebagai akibat dari hilangnya rasa di kaki mereka.
Sedangkan persentase operasi amputasi bagi para penderita diabetes secara internasional diperkitakan terjadi setiap setengah menit satu kali. Adapun biaya operasi amputasi di Amerika saja mencapai USD 11 juta pertahun. Jennifer menambahkan, kasus Catherina Hulbert merupakan contoh nyata bagi para penderita diabetes yang mungkin diselamatkan dari kehilangan anggota tubuh mereka dengan biaya yang sangat ringan.
Seperti yang diketahui bahwa penderita diabetes mengalami penurunan kelancaran darah dalam pembulu darah mereka dan lemahnya tingkat imunitas terhadap berbagai penyakit. Ditambah lagi antibiotic yang diberikan untuk mengobati luka diabetes tidak bermanfaat disebabkan bakteri Staphylococcus Aurous akan membentuk perlawanannya sendiri. Sedangkan madu lebah menciptakan perlawanan terhadap bacteria dengan berbagai cara. Sebab itu dianggap sebagai pengabatan paling efektif bagi penyembuhan luka akibat diabetes.
Dalam madu lebah juga terdapat zat asam yang mudah berinteraksi dan tinkat kelembaban yang rendah sehingga menyebabkan madu lebah tersebut mudah membunuh bacteria. Di tambah lagi adanya enzim yang mengeluarkan acid hydrogen yang berfungsi membersihkan luka sehingga mudah membunh semua bacteria yang ada.
Akhirnya kita tutup dengan ungkapan : Sesungguhnhya pengobatan dengan madu lebah telah menjadi masalah yang sangat menarik perhatian para ilmuan di bidang kesehatan secara mendunia, khususnya pusat-pusat yang memerangi berbagai penyakit dan organisasi-organisasi kesehatan intrnasional di tengah meningkatnya macam-macan bacteria yang mampu melawan obat-obat antibiotic lainnya.
Dr Jennifer juga menekankan keharusan mendahulukan pengobatan dengan madu karena pembusukan (tukak) akibat diabetes bukan perkara mudah. Sungguh benarlah firman Allah dalam Al-Qur’an suat Annah : 68 – 69 :
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ (68) ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (69)Dan Tuhan Penciptamu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia".(68) Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS Annahl : 68 – 69)
Selamat mencoba……