Sabtu, 20 November 2010

Abu Usamah dan Iblis.


Alkisah Panjul alias Abu Usamah terkenal alim dan lulusan ponpes tradisional salafy. Selama ini para iblis merasa kesulitan menundukkan Panjul agar terjerumus dalam rayuan iblis.Ketika Allah menguji Panjul dg kekurangan harta, iblispun tak sanggup menggoda untuk meninggalkan tuntunan Tuhannya. Pun ketika Panjul sukses berwiraswasta berkecukupan materi, iblispun gagal total menggoyahkan iman Panjul agar bermaksiat.

Akhirnya petinggi iblis turun tangan dengan kelihaian yang tak diragukan lagi. Petinggi iblis itu berkata," Kita harus mengalahkan Panjul dengan memanfaatkan ilmunya!"

Maka mulailah iblis menggoda Panjul dengan sangat licik.
Mulai dari yang kecil-kecil, iblis mengingatkan Panjul tentang hadits saat kematian dan siksa yang pedih, agar tidak banyak terlihat senyum bahagia. Tak diduga Panjul yang dulunya ramah mulai terlihat muram,jarang tersenyum lagi.

Lalu iblis membisikkan agar bertindak tegas terhadap hal-hal yang menyalahi sunnah, bid'ah. Panjulpun memperingatkan orang sekitarnya dengan menyampaikan dalil-dalilnya. Kemanapun pergi dan kepada siapapun yang ditemui peringatan-peringatan tegas dan keras meluncur dari mulutnya. Tak peduli orang itu masih dalam fase jahiliyah, awam, kurang ilmu, semua dalil dikeluarkan. Padahal Nabi butuh waktu bertahun-tahun dan melalui tahapan panjang dalam berdakwah. Celaan demi celaan keluar dari mulutnya.

Tak hanya sampai di situ, dengan hartanya iblis membisikkan agar berjihad.
Panjul mengumpulkan teman-temannya yang sepemahaman dengannya lalu membentuk sebuah lasykar Islam. Kelompok ini beraksi seumpama jihad dengan lebih keras lagi. Setiap Ramadhan tiba,mereka mengobrak-abrik lapak dan warung masyarakat penjual makan di siang hari. Mereka menuding para pedagang tak menghormati orang berpuasa.

Tanpa ampun juga tempat-tempat maksiat bar, kafe,lokalisasi diserbu. Padahal mereka sebelumnya tak pernah mau mendatangi mereka dengan lembut, mendakwahi mereka pelan-pelan dan sesuai takaran pemahaman agamanya. Mereka menganggap jaman jahiliyah hanya ada di jaman Nabi, jaman ini sudah jaman yang disempurnakan sehingga keras dan tegas lebih diutamakan.

Iblis bersorak gembira, banyak orang disakiti hatinya dan Islam yang dikenal rahmatan lil'alamin tercoreng ulah Panjul. Dan Iblis masih belum puas, ada hal lain yang lebih besar untuk menaklukkan Panjul.

Iblis menghembuskan kebencian yang teramat sangat pada Israel dan Amerika. Panjul mulai berpikir untuk berjihad melawan kekejaman Amerika dan Israel. Pergi ke Amerika sangat suli apalagi tanpa dana dan senjata yang memadai. Disusunlah rencana untuk menghabisi orang Amerika di Indonesia, siapapun asal bule adalah musuh.

Tibalah saatnya Panjul mengorbankan jiwanya agar menjadi syahid. Panjul melakukan bom bunuh diri di sebuah gedung yang banyak berisi orang Amerika. Bom meledak...tak peduli di sana banyak orang awam tak mengerti apa yang terjadi dan tak punya sangkut paut dengan perang. Tak peduli di tempat itu ada bapak-bapak yang menjadi tulang punggung keluarga ikut mati. Tak peduli ada anak-anak dan perempuan yang jadi korban. "Itu resiko perang,biar Allah yang mengadili,menghitung dan membalas", Panjul beralasan.

Iblis bersorak sorai merayakan kemenangan karena telah berhasil mengelabui Panjul yang susah ditaklukkan untuk bermaksiat pada Allah. Iblispun punya alasan kuat membela diri. "Masalah perilaku Panjul berkenan di mata Allah atau tidak, berpahala atau tidak, itu adalah urusan Allah, saya hanya sekedar menggodanya semampu yang saya bisa." Kata iblis.

Rabu, 10 November 2010

Bimo Gugat


Ini adalah di luar kebiasaan Bimo. Tiba-tiba dia curhat pada bapaknya tentang ibu. Biasanya dia akan bercerita sampai terpingkal-pingkal tentang petualangan 'gendeng'nya seharian. Atau menunjukkan keterampilan barunya pada bapak dengan 'kemaki'. Kadang juga memuja muji ibunya, ini bila ada udang di balik batu.

" Bah, Bimo mo curhat nih..tapi ini rahasia laki-laki loh," Bimo memulai aksinya.
Ibunya yang sedari tadi duduk di sampingnya hanya bisa nyengir dan segera pergi meninggalkan dua laki-laki tercintanya untuk 'ngegosip', begitu ibu menyebutnya bila bapak dan anak itu sedang ingin berdua.

"Ini tentang ibu Bah, Bimo mau komplain tapi Abah jangan marahin Ibu yach..!" pinta Bimo memulai curhatnya.
"Begini Bah, beberapa hari belakangan ini ibu terlalu sering berbicara dengan bahasa Indonesia, Bimo merasa gak nyaman kayak di sekolah aja. Abah khan dulu berpesan untuk selalu berbicara pake bahasanya ibu,bahasa Jawa halus agar Bimo belajar bahasa yang halus dan sopan..?" kata Bimo setengah berbisik.
"Terus yang kedua beberapa hari ini Ibu gak masak, tapi beli dari warung, Bimo suka bila Ibu menghidangkan masakannya sendiri, pasti sambil tersenyum-senyum, memuji-muji masakannya..kelihatan bangga dan seneng gitu loh Bah...", adu Bimo sambil menerawang langit-langit rumah.
"Yang paling Bimo sebel ,beberapa hari ini Ibu sibuk kuliah. Terus gak jemput Bimo, malah nyuruh Mas Ucil yang jemput.",bibirnya mulai menyong pertanda sedang sebel banget.
"Seharian Bimo cuman nonton teve..saatnya mau tidur Ibu malah udah ketiduran duluan,gak ada acara ngobrol-ngobrol sebelum tidur Bah..",ujar Bimo merengut.
---------------------------------------------------------------------
Obrolan dengan Bimo itu membuat saya tercenung. Betapa anak-anak jaman sekarang telah terenggut sebagian kebahagiaan masa kecilnya oleh kebutuhan hidup. Bimo mungkin tak mengerti kadang orang tua jaman sekarang harus lebih bekerja keras agar masa depan mereka lebih baik. Atau malah agar ambisi dan gengsi tercukupi..?

Dulu,anak-anak sarapan dengan makanan buatan ibunya, menyesap air susu langsung dari puting ibunya. Kini, semua hal sepele itu perlahan-lahan digantikan oleh pasar. Makanan cepat saji dan susu kaleng meresap pelan-pelan ke dalam setiap pori-pori anak-anak.

Tak ada lagi dongeng yang dikisahkan saat anak-anak ditimang-timang ibunya. Malah sang ibu cerita tentang gosip infotainment di televisi atau malah si anak bareng-bareng nonton gosip bareng ibu atau pengasuhnya. Tak ada lagi “bahasa ibu” dalam pengertiannya yang paling dalam. “Bahasa ibu” di sini bukan semata bahasa daerah sebagai alat komunikasi, melainkan juga cara berpikir, rumah pikiran. Bahasa ibu adalah kompas pertama bagi anak-anak dalam mengarungi dunia dan kehidupan, penentu orientasi nilai-nilai. Para orang tua justru berbicara dengan bahasa Indonesia yang notabene pasti akan didapat di sekolah.

Anak-anak tidak lagi diperkenalkan dengan dialek daerah yang kaya ungkapan emosional yang sulit didapat dalam bahasa Indonesia. Mestinya setiap anak harus dibekali identitas kesukuan agar keragaman budaya Indonesia tetap terjaga. Bukankah Allah menciptakan kita bersuku-suku agar saling mengenal?

Kini, bahasa ibu itu telah digantikan oleh televisi. Bahasa televisi menjadi bahasa asal, bahasa pertama, sekaligus bahasa sehari anak-anak sekarang. Jangan heran jika gaya tutur anak-anak sekarang nyaris mirip dengan apa yang disajikan televisi, lengkap dengan logat ala sinetron, berikut kelakuan dan cara berpakaian macam tokoh-tokoh sinetron.

Ini bukan persoalan sederhana, tapi betul-betul mendasar, karena menggambarkan satu mutasi yang dashyat: Jika dulu ibu adalah tempat anak-anak pulang, kini ibu sendiri yang jutru pulang menuju anak-anaknya. Barangkali, kelak Bimo akan menulis sebuah note 'menggugat emnsipasi wanita'.

bimomukti the snowman,seoul

Selasa, 09 November 2010

JENUH


Sunyi di dada, sunyi di telinga, sunyi di kepala. Rasa bosan dan kesepian bak jailangkung, datang tak diundang pergi tak diantar. Kesunyian bisa datang menyergap siapa saja dan kapanpun dia mau, seperti saya akhir-akhir ini. Seolah hidup terasing sendiri, sangat merindukan keramaian dusun dan keriuhan sudut kota Jogja.

Mungkin saya memang bukan orang yang cukup penyabar. Jika rasa bosan datang, saya kadang menyerah, lalu bangkit dari pembaringan, menyalakan rokok, menyeduh kopi dan kemudian menyeruputnya. Lalu, seperti yang sudah-sudah dan memang selalu begitu, laptop menjadi pelampiasan kegagalan menaklukkan kesuntukan yang membuncah. Kali itu facebook tak lagi mempan mengusir sunyi malah membuat kepala makin pening.

Jika sudah begini, otak malah makin binal. Dengan segera kening berdenyut, menyusun garis-garis tipis di jidat –tanda bahwa saya sedang memikirkan sesuatu, dari yang berat hingga yang ringan, dari yang serius sampai yang sepele, dari yang suci hingga yang jorok.

Ritus selanjutnya mudah ditebak: laptop kembali kuhidupkan dan menjadi altar tempat aku menghaturkan hio berupa deretan aksara yang kujejalkan dengan paksa. Hampir semua postingan di blog dan note di fb ini dilahirkan di tengah ritual mengusir gundah, sepi, suntuk yang –sejujurnya—begitu melelahkan.

Kadang saya hanya nitip tulisan kecil di note fb adik, karena saya males buka fb saya sendiri. Atau menulis status untuk adikku yang lain. Hasilnya, adikku yang kena maki dan sumpah serapah orang gara-gara status yg kutuliskan, kasihan memang.

"Makasih yach, mau menyediakan tempat kakakmu yang sontoloyo ini menulis di akunmu, Nduk!"

Tapi, semua itu sebetulnya sering terasa meletihkan, terutama pada saat di mana saya sebenarnya benar-benar ingin istirahat. Tapi keriangan seperti sedang memusuhi saya. Sementara malam rasanya berubah menjadi pencemburu yang tak sudi jika hanya siang saja yang bisa memperkosaku. Tubuhku seperti menjadi panggung di mana waktu begitu bersemangat memamerkan kuasanya. Inilah yang sedang saya hadapi: diperkosa siang dan digagahi malam dg kejenuhan yg mengikat leher.

Anehnya, emosi saya stabil. Marah karena hal-hal yang memang menjengkelkan tentu masih kadang datang. Tapi itu tak pernah lama hinggap. Kemarahan bisa punah tak sampai sepenghisapan kretek.

Saya berpikir untuk tak lagi mengutuki kejenuhan ini. Jika memang malam sedang mesra dengan saya, maka kunikmati sunyinya malam. Jika memang siang genit menggoda, maka kuhabiskan siang dengan berasyik masyuk dengan deru mesin dan bergulat dengan dentingan besi. Seramai itupun masih juga terasa sunyi sepi sendiri.

Jumat, 05 November 2010

JANGAN KHIANATI CINTA ,ANAKKU..!


Anakku, kelak bila kau dewasa dan mengenal cinta asmara 'gombal simelekethe', kau akan mengerti betapa marahnya bila orang yang kau cintai dan telah berikrar untuk hanya mencintaimu ternyata juga punya kekasih selain dirimu. Pasti kau ingin ngamuk dan menumpahkan kekesalanmu pada kekasih yang telah mendua. Bahkan ada yang tega memotong-motong mayat pengkhianat cinta.

Aku dan ibumu telah mengajarkanmu untuk hanya mencintai, menghamba dan mematuhi Allah swt. Berikrar bahwa tidak ada yang pantas dipuja, ditakuti, dimintai tolong, tempat memohon, berlindung memasrahkan diri selain Allah. Dan ikrar itu selalu kau ulang-ulang seiring dengan shalatmu.

Kita adalah warga Sleman tak jauh dari Merapi yang sedang bergolak. Engkau adalah putera Merapi. Saat ini bapak sangat mengkhawatirkanmu juga keluarga kita. Tak perlu ku tulis semua rasa cemasku pada kalian karena hanya akan semakin membuat hati teriris-iris. Tak banyak yang bisa kuperbuat selain hanya memasrahkan kalian pada Allah , satu-satunya Dzat tempat menggantungkan hidup.

Tapi sms ibumu kemarin membuat bapak semakin cemas, bukan cemas karena muntahan lahar dan hembusan awan panas Merapi, tapi karena Mbah Petruk ! Ibumu bilang, "Mbah Petruk akan mengamuk Yogyakarta, agar Mbah nggak ngamuk warga diminta bertobat dan banyak berdo'a juga membuat sesaji". Pesan itu seolah berbunyi, "Kita harus bertobat ,banyak berdo'a dan membuat sesaji karena takut pada Mbah Petruk."

Seolah-olah yang membuat gunung Merapi meletus adalah Mbah Petruk atau para danyang penunggu Merapi. Orang-orang ditakut-takuti agar tunduk dan patuh pada para penunggu Merapi. Membuat sesaji, bersembahyang rajin ibadah demi jin penghuni merapi. Orang-orang menganggap mereka adalah asisten Tuhan.

Anakku, Allah tidak butuh sekutu atau penguasa-penguasa lain. Beribadah dan shalatlah karena takut pada Allah bukan karena takut pada ancaman mbah Petruk. Mbah Petruk bukan siapa-siapa, bukan pula penguasa Merapi. Memangnya siapa yang mengangkat mereka jadi penguasa Merapi? Allah tidak butuh mereka kalau hanya ingin meluluhlantakkan Jogja atau membuat Jogja terbebas dari bencana.. Allah tidah pernah menyuruh membuat sesaji untuk mereka. Dan mbah Petruk juga bukan utusan Tuhan ataupun malaikat. Mereka para danyang Merapi itu hanya sekumpulan jin yang pongah lalu mengutus budaknya untuk menyesatkan manusia.

Tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali Allah. Allahlah yang murka karena kita telah mengkhianati cintanya. Mempercayai, mematuhi, takut, tunduk pada seruan abdi-abdi Iblis. Di satu sisi kita mengaku Allah sebagai Tuhan penguasa alam semesta termasuk Merapi tapi di sisi lain kita juga menghambakan diri dan percaya pada bisikan jin sesat penghuni Merapi. Pantas saja bencana datang silih berganti , bergulung-gulung karena kita jadi pengkhianat cinta. Iya, Allah sangat mencintai kita tapi kita justru berselingkuh dengan setan Merapi.

Anakku, do'aku menyertai kalian. Semoga kalian diberi ketabahan, iman, sabar dan keselamatan. Ingat, Allah tempat berlindung dan memohon keselamatan.

bimomukti the snowman ,seoul.

Kamis, 04 November 2010

Kerasnya Hidup Membuatku Semakin Kuat


Jujur, aku pernah merasa sakit hati dengan perjalanan hidupku.

Segala nestapa dan derita yang hanya tertulis di esai wartawan tentang anak-anak yang harus bergulat dengan kerasnya hidup. Tentang aku yang tak bisa menikmati masa kanak kanak layaknya teman sebayaku. Karena semenjak aku hapal dan mampu menelusuri sudut-sudut jalan di kota kecil tempat kelahiranku, ibuku sudah menuntunku untuk mencari sejumput rejeki.

Ibuku wanita tegar dan tak mau berpangku tangan mengandalkan hasil cangkulan bapak yang tak seberapa, kadang malah gagal panen. Beliau ikut menyingsingkan lengan baju agar dapur tetap mengepul dan anak-anak tetap belajar. Saban hari ibu membuat tempe bungkus dan akulah satu-satunya anak yang tersisa yang bisa meringankankan kaki ibu agar tetap kokoh menyangga ekonomi keluarga. Pagi-pagi sekali saat semua anak-anak seusiaku masih pulas tertidur, aku sudah berangkat ke pasar bersama ibu menjajakan tempe buatannya.

Tentu aku sudah mandi dan berpakaian seragam SD karena menjelang matahari naik aku harus bergegas berangkat sekolah. Meninggalkan ibuku bersama dagangannya di pasar. Siangnya sepulang sekolah saat anak-anak lain tidur siang, aku tidak langsung pulang ke rumah tapi mampir ke pasar menunggu komando ibuku selanjutnya. Seperti hari-hari yang lain tugas utama sepulang sekolah adalah mengantar tempe ke warung kopi atau warung jajanan makan lainnya.

Setelah tugas utama membantu ibu selesai bukan berati aku bisa segera bergabung bersama teman-teman bermain petak umpet, lompat tali atau gobag sodor, aku punya tugas lain,'angon wedhus!' Iya, kambing juga butuh makan dan tak lain aku juga yang harus menuntun mereka ke sawah atau lapangan berumput agar mereka bisa makan, gemuk beranak pinak dan kelak laku dijual.

Aku merasa iri dengan teman sebayaku yang bebas bermain dan tak terbebani tugas membantu orang tua. Aku merasa ibu telah merenggut hidupku. Hingga aku lulus SMP kegiatan diatas aku lakoni dengan nestapa yang menggunung didadaku. Aku marah dengan hidup, mengapa Tuhan tidak adil. Di mana kasih sayang Tuhan, membiarkan aku dan keluargaku dirundung kemiskinan yang menjerat leher.

Hingga aku memutuskan untuk lebih berani menyabung hidup, mencari lagi janji-janji Tuhan bagi hamba yang tak berputus asa dan selalu berprasangka baik pada Tuhan. Aku merantau, merantau , merantau dan merantau . Aku ingin merubah nasib, nasib tak akan berubah kalau bukan kita yang berusaha berikhtiar memohon agar Tuhan mengubah nasib kita.

Di rantau aku semakin belajar memaknai hidup, bukan lagi menyalahkan nasib, tidak lagi menggerutu terhadap takdir karena banyak orang yang bernasib lebih tragis daripada aku. Di sini aku bisa lebih jernih mendengar tangis keluh kesah sahabat-sahabat yang dirundung malang, Lebih terang melihat nasib saudara-saudaraku yang sedang tertimpa musibah.

Baru aku sadari betapa ibuku telah mengajarkan banyak hal yang tak mampu dilakukan ibu-ibu yang lain. Ibuku wanita yang menginspirasi hidupku, memasukkan masa kanak-kanakku dalam kawah candradimuka agar aku sekuat Gatotkaca. Ibuku yang menempaku tetap kuat menghadapi hantaman badai. Ibu, mungkin bila dulu tak kau ajrkan aku menghadapi ganasnya ombak kehidupan barangkali kini aku sudah terhempas hanyut terbawa gelombang.

Karena hidup adalah serentetan gelombang kejut yang kadang kala tak sepenuhnya bisa kita mengerti tapi pasti tak bisa kita elakkan. Kita tak akan mampu memprediksi secara presisi apa yang akan terjadi esok hari. Jika hidup seumpama buku, kita hanya tahu persis isi halaman yang sudah kita baca dan tak akan pernah mampu menebak secara presisi halaman berikutnya sampai kita sendiri usai membacanya.

bimomukti the snowman for eny kurnia