Minggu, 23 November 2008

penerbangan bersama teman2 tkw

Dan bicara soal TKI/TKW, saya pernah punya pengalaman unik dengan mereka. Dalam suatu penerbangan menuju Indonesia, saya bersama dengan mereka yang menguasai sekitar 70 persen lebih dari total penumpang. Mereka berasal dari Indramayu, Cianjur, Temanggung, Pati, Wonosari, dan daerah “lapis kedua” lainnya.

Dalam bandara, jujur saja, tingkah mereka boleh dibilang unik. Misalnya ketika melewati pemeriksaan dan boarding, mereka kebingungan saat ditanyai petugas. Ketika dibawa menggunakan bus menuju pesawat, ada yang malah bingung mencari temannya. Saat akan naik pesawat, ada yang nampaknya kelupaan barang bawaannya. Namun entah grogi atau takut untuk menanyai ground crew di situ, ia cuma maju mundur dan celingukan.

Di atas pesawat, mereka juga lucu-lucu. Paling umum adalah salah tempat duduk. Ada yang ngotot ingin sebelahan dengan rekannya. Ada yang heboh memainkan monitor di belakang headrest. Dan tak sampai 15 menit di udara, kemudian tercium bau balsem yang menyengat. Malah pernah ada yang buang hajat di lavatory namun tak di-flush—-mungkin lupa atau tak tahu caranya.

Sepanjang perjalanan pun mereka selalu menghibur dengan rumpian yang cukup keras dalam berbagai bahasa antara betawi, sunda, jawa, madura, dan indonesia. Malah saat flight attendant menawarkan meal atau beverages, ada yang spontan menyahut dengan bahasa sunda. Sementara sebagian yang lain menjawab ala kadarnya ditambah bahasa tarzan sembari menunjuk sana-sini.

Tapi yang membuat saya gemes adalah ketaktahuan mereka tentang aturan keselamatan dalam penerbangan. Misalnya mengeratkan seatbelt, menegakkan tempat duduk, melipat meja, atau mematikan piranti elektronik saat take off maupun landing. Sialnya, salah satu TKW di kanan saya malah menyalakan ponsel saat approaching beberapa detik menjelang landing. Gila.

Yang juga tak kalah gemes dari saya mungkin pramugari yang kerepotan mengingatkan mereka karena buru-buru berdiri dan mengambil overhead baggage padahal pesawat sedang taxiing dan belum docking. Ketika akan keluar pun mereka uyel-uyelan nggak jelas dan bersuara ramai sekali.

Saya memahami keluguan dan ketidaktahuan mereka tentang hal-hal semacam itu. Lebih prihatin lagi karena saya praktis tak bisa berbuat apa-apa buat membantu mereka.

Namun yang membuat saya benar-benar sedih adalah saat sampai di Soekarno-Hatta.

Mereka digiring ke loket imigrasi khusus. Tak lama ada petugas yang mendekati dengan ramah, nampaknya menawarkan “sesuatu” ke mereka. Setelah melalui pemeriksaan paspor, mereka dicegat dan digiring lagi ke loket penukaran uang yang saya lihat rate-nya terlalu tidak masuk akal. Hampir semuanya terjebak di situ.

Tak berhenti di situ, saat hendak mengambil bagasi di carousel, ada porter yang mendekati sembari menawarkan macam-macam. Ada ibu-ibu yang bilang bahwa ia dipaksa untuk diambilkan kopernya dan diantar menggunakan bis dengan ongkos Rp. 800 ribu. Tentu saja kalau koper itu sudah berada di tangan mereka, akan sangat susah untuk mengambil kembali tanpa memberi sejumlah uang.

Pun ketika hendak keluar pemeriksaan terakhir, ada juga oknum petugas yang mencegat dan menginterogasi macam-macam. Mungkin juga dipaksa untuk bayar ini-itu.

Kebetulan waktu itu saya sedang bersama teman yang baru pulang cuti dan (sialnya) ketika akan keluar, ada petugas perempuan yang mencegat dan bertanya dengan tidak sopan, “Mau kemana? TKI/W keluar lewat sana!” Setelah kalah argumentasi, petugas itu langsung ngeloyor entah kemana.

Kata teman saya, ini masih mendingan karena kami tiba sekitar pukul 10 malam. Kalau di siang hari, praktek-praktek semacam itu bisa jauh lebih heboh lagi.

Memang kasihan mereka. Setiap datang masih dipungut Rp 25 ribu. Padahal sebelum berangkat sudah dipungut US$ 15 untuk subsidi. Belum termasuk sekitar Rp 5 juta untuk pengurusan paspor dan administrasi lainnya. Resminya, pengantaran ke daerah seperti Cianjur hanya Rp 185 ribu, namun tak jarang yang apes kehilangan sampai Rp 1 juta. Kalikan saja dengan traffic TKI/TKW yang 500 orang per hari atau 2 ribu orang per hari seperti saat ini.

Padahal sebelum berangkat mereka sudah jor-joran menjual harta benda atau mengijon kiri-kanan. Mereka juga meninggalkan suami/istri dan anak dalam waktu yang sangat lama. Sialnya, biarpun mereka menghasilkan devisa sampai Rp 15 triliun per tahun, keberadaan mereka masih dilihat sebelah mata.

Big question saya adalah apakah benar bahwa di dalam bandara memang ada konspirasi besar yang terorganisir dalam memeras para pahlawan devisa kita? Karena sepanjang pengamatan saya, mereka semua mengenakan seragam dan name tag resmi.

Kalau memang demikian adanya, berarti kita adalah salah satu bangsa yang paling tak beradab di dunia ini.

Di negeri sendiri, kita tak bisa memberi mereka keterampilan yang memadai maupun pekerjaan yang layak. Ketika mereka di seberang sana, kita juga tak melindungi mereka dari pemberi kerja yang semaunya sendiri. Pun ketika mereka kembali ke tanah air, kita sudah siap merampok harta mereka.

Kurang hina apa lagi bangsa ini?

Simpati saya buat rekan-rekan TKI dan TKW semua.

0 comments:

Posting Komentar