Minggu, 12 September 2010

Lebaran dalam kenangan.



Sudah tradisi, setiap lebaran, orang-orang terutama kaum muslimin berusaha untuk saling mengunjungi, melakukan silaturahmi. Saling meminta maaf dan saling halal-menghalalkan. Bahkan dari tempat-tempat jauh orang datang untuk keperluan ini. Tradisi mudik yang begitu luar biasa itu begitu indah seingatku, karena bertahun saya melewatkan lebaran bersama 'sanak kadang' di kampung.

Di dusun saya yang mungil,khususnya dalam keluarga besar kami mereka yang berbeda agama, berbeda organisasi, berbeda partai, sampai yang berbeda hari raya, bertemu dalam majlis lebaran yang penuh rahmat-persaudaraan. Luar biasa...Lebaran bagi trah keluarga besar kami bukanlah sekedar milik umat Islam tapi sudah menjadi milik bangsa, milik bersama, milik keluarga

Tak ada yang menyangkal bila dalam trah kami memiliki anggota keluarga pemeluk Nasrani yang taat dari sekedar aktivis gereja, pengurus gereja bahkan pendeta. Namun setiap lebaran Pak Lik dan Bu Lik meski memiliki ketaatan terhadap agamanya yang nyaris sempurna, selalu membukakan pintunya buat ponakan dan cucunya untuk datang bersilaturahmi lebaran. Tak lupa segala hidangan lebaran pasti tersuguh di meja.

Saya masih ingat ketika (alm)Pak Lik Parlan,yang juga pengurus GKJ selalu menunggu-nunggu kedatanganku tiap lebaran tiba.
"Pokoknya bila lebaran ini kamu tak datang dan sungkem padaku niscaya segera aku tutup rumahku ini untukmu, selamanya!",ujarnya suatu ketika.
Rupanya beliau selalu menungguku untuk datang dan merayakan lebaran di rumahnya. Maka ketika saya datang untaian nasehat dan pitutur indah akan meluncur dari mulutnya,dan itu yang selalu saya tunggu.

Tentu saya akan selalu ingat nasehat beliau untuk tetap menjalin silaturahmi meski kelak orang tua kami satu persatu wafat,
"Kami para orang tua bersaudara termasuk bapakmu mungkin memiliki sedikit konflik pribadi tapi saya tak kan pernah mewariskan konflik antar orang tua pada kalian."
Maka di sepanjang tahun kesibukan masing-masing,lebaran adalah kunci penentu masih hidupnya tali silaturahmi diantara keluarga besar kami. Minimal setahun sekali saling berkunjung.

Salah seorang Pak Lik yang lain,juga pengurus gereja dan kepala sekolah yayasan Kristen, Pak Lik Supadiyono(alm) bahkan selalu membawa anak, menantu dan cucunya untuk silaturahmi ke rumah orang tua kami saat lebaran. "Wajib hukumnya!", katanya sambil terkekeh. Alhasil hingga kinipun meski beliau sudah wafat anak-anaknya yang di Jogja meskipun seorang pendeta Kristen Protestan selalu hadir nomer wahid di rumah dan sungkem pada Simbok, Bu Dhe-nya.

Keindahan itulah yang selalu membayang bayang tiap lebaran tiba, kangen, dan ingin segera berhambur membalas silaturahmi mereka. Saya yakin sampai kapanpun di rumah mereka tiap lebaran pasti akan terhidang camilan lebaran dan suguhan minuman yang menyegarkan.

Saya hanya berharap tradisi lebaran ini akan tetap menjadi milik bangsa sebagaimana peci dan sarung yang bukan lagi milik umat islam, tapi bangsa Indonesia. Barangkali kami bisa menular-ratakan kondisi dan suasana keakraban dan toleransi itu ke wilayah yang lebih luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan cara mengawetkan cinta kasih dan semangat silaturahmi model Pak Lik kami, minimal pada keturunan kami kelak.

Mohon maaf lahir batin, minal aidin wal faidzin .

bimomukti the snowman,

0 comments:

Posting Komentar