Minggu, 05 April 2009

lelaki dalam kacamata djawa



Pan iku wus karseng Widhi
dene kang mangka marganya
ananya wiji janmane
apan aneng janma priya
karan uga tyang lanang
lanang lana tegesipun
langgeng ingkang hisi gesang

Tulisan di atas adalah penggalan salah satu bait tembang Asmarandana. Tulisan tersebut ditulis dalam bahasa Jawa Kawi—-yang konon katanya digunakan oleh leluhur bangsa Jawa sebelum abad ke 17. Saat ini relatif tidak banyak orang yang memahami bahasa tersebut. Selain orang-orang yang memang memiliki spesialisasi di bidang itu, bahasa Jawa Kawi mungkin terhenti sampai dua-tiga generasi sebelum generasi kita sekarang.

Yang jelas, setelah membaca tulisan tersebut saya baru tahu bahwa ternyata lanang (laki-laki) memiliki arti khusus, yaitu langgeng ingkang hisi gesang atau suatu sifat yang berhak menerima aliran daya kehidupan. Bila ditelusur dari bait-bait sebelum dan sesudahnya, tulisan tersebut hendak mengatakan bahwa sudah menjadi kehendak Tuhan bila kaum laki-laki diciptakan “lebih”, yaitu menjadi perantara terjadinya sifat bakal manusia.
Walau dianggap lebih, bait-bait Asmarandana juga mengingatkan agar kaum laki-laki tidak berbesar hati dan merasa kuasa, karena pada hakekatnya mereka hanya menjadi perantara saja. Di sisi lain, perempuan juga memegang peranan penting karena menerima “biji” yang dibawa laki-laki dan memeliharanya sedemikian hingga sampai biji tersebut tumbuh menjadi manusia yang utuh. Secara menakjubkan bait-bait tersebut menceritakan mulai dari bagaimana air sari pati makanan bisa berubah menjadi makhluk yang sempurna.

Dalam lembaran yang lain, saya juga menemukan potongan bait yang menarik dari tembang Sinom.

mangkya nggonya jejodohan
si wedus tan beda pitik
nyatanira mung sajuga
kang kara jodonireki
dene katon tan siji
iku mungguring tinggal manus
sarta katonnya kutah
salir wadon dyan sinabi
apan iku mung weruhing janma

Dalam bait tersebut digambarkan bahwa kambing dan ayam adalah sama saja—-suka bercinta dengan banyak betina. Mereka tidak pernah membeda-bedakan. Asalkan betina—-entah itu saudara, ibu, nenek, tetangga, atau lainnya—-langsung disikat. Di bait-bait sesudahnya digambarkan pula sapi yang cenderung hanya bercinta pada satu pasangan saja. Selain terbukti lebih sehat, sapi juga dianggap lebih bisa memberi manfaat—-mulai dari daging, susu, kulit, hingga tenaganya.

Pelajaran yang bisa dipetik adalah bercinta dengan begitu banyak lawan jenis (baca: serakah) seperti kambing atau ayam mungkin bisa mendatangkan kebahagian, tetapi tidak akan menyamai kebahagiaan yang diperoleh dari kesetiaan terhadap satu pasangan saja seperti halnya sapi. Tembang tersebut mengibaratkannya dengan seorang pemabuk yang belum mendapatkan minuman. Ketentraman hatinya hanya akan diperoleh bila ia berdekatan dengan minuman keras. Padahal, nafsu hewani semacam itu tidak dapat diduga akibatnya. Selain membuat badani rusak, perasaaan tidak tetap, hati pun bisa menjadi kabur.

Menariknya, bukutersebut tertemukan sudah dalam keadaan sangat memrihatinkan. Kumal, penuh lipatan, sebagian sudah robek, dengan sampul yang lenyap entah kemana. Ajaibnya lagi, buku setebal sekitar 300 halaman itu tidak ditulis oleh bangsa kita sendiri, melainkan oleh Mariendals Boktrykkeri A.s. Gjøvik, Norway. Opo tumon? :)

0 comments:

Posting Komentar