Selasa, 09 November 2010

JENUH


Sunyi di dada, sunyi di telinga, sunyi di kepala. Rasa bosan dan kesepian bak jailangkung, datang tak diundang pergi tak diantar. Kesunyian bisa datang menyergap siapa saja dan kapanpun dia mau, seperti saya akhir-akhir ini. Seolah hidup terasing sendiri, sangat merindukan keramaian dusun dan keriuhan sudut kota Jogja.

Mungkin saya memang bukan orang yang cukup penyabar. Jika rasa bosan datang, saya kadang menyerah, lalu bangkit dari pembaringan, menyalakan rokok, menyeduh kopi dan kemudian menyeruputnya. Lalu, seperti yang sudah-sudah dan memang selalu begitu, laptop menjadi pelampiasan kegagalan menaklukkan kesuntukan yang membuncah. Kali itu facebook tak lagi mempan mengusir sunyi malah membuat kepala makin pening.

Jika sudah begini, otak malah makin binal. Dengan segera kening berdenyut, menyusun garis-garis tipis di jidat –tanda bahwa saya sedang memikirkan sesuatu, dari yang berat hingga yang ringan, dari yang serius sampai yang sepele, dari yang suci hingga yang jorok.

Ritus selanjutnya mudah ditebak: laptop kembali kuhidupkan dan menjadi altar tempat aku menghaturkan hio berupa deretan aksara yang kujejalkan dengan paksa. Hampir semua postingan di blog dan note di fb ini dilahirkan di tengah ritual mengusir gundah, sepi, suntuk yang –sejujurnya—begitu melelahkan.

Kadang saya hanya nitip tulisan kecil di note fb adik, karena saya males buka fb saya sendiri. Atau menulis status untuk adikku yang lain. Hasilnya, adikku yang kena maki dan sumpah serapah orang gara-gara status yg kutuliskan, kasihan memang.

"Makasih yach, mau menyediakan tempat kakakmu yang sontoloyo ini menulis di akunmu, Nduk!"

Tapi, semua itu sebetulnya sering terasa meletihkan, terutama pada saat di mana saya sebenarnya benar-benar ingin istirahat. Tapi keriangan seperti sedang memusuhi saya. Sementara malam rasanya berubah menjadi pencemburu yang tak sudi jika hanya siang saja yang bisa memperkosaku. Tubuhku seperti menjadi panggung di mana waktu begitu bersemangat memamerkan kuasanya. Inilah yang sedang saya hadapi: diperkosa siang dan digagahi malam dg kejenuhan yg mengikat leher.

Anehnya, emosi saya stabil. Marah karena hal-hal yang memang menjengkelkan tentu masih kadang datang. Tapi itu tak pernah lama hinggap. Kemarahan bisa punah tak sampai sepenghisapan kretek.

Saya berpikir untuk tak lagi mengutuki kejenuhan ini. Jika memang malam sedang mesra dengan saya, maka kunikmati sunyinya malam. Jika memang siang genit menggoda, maka kuhabiskan siang dengan berasyik masyuk dengan deru mesin dan bergulat dengan dentingan besi. Seramai itupun masih juga terasa sunyi sepi sendiri.

0 comments:

Posting Komentar