Kamis, 04 November 2010

Kerasnya Hidup Membuatku Semakin Kuat


Jujur, aku pernah merasa sakit hati dengan perjalanan hidupku.

Segala nestapa dan derita yang hanya tertulis di esai wartawan tentang anak-anak yang harus bergulat dengan kerasnya hidup. Tentang aku yang tak bisa menikmati masa kanak kanak layaknya teman sebayaku. Karena semenjak aku hapal dan mampu menelusuri sudut-sudut jalan di kota kecil tempat kelahiranku, ibuku sudah menuntunku untuk mencari sejumput rejeki.

Ibuku wanita tegar dan tak mau berpangku tangan mengandalkan hasil cangkulan bapak yang tak seberapa, kadang malah gagal panen. Beliau ikut menyingsingkan lengan baju agar dapur tetap mengepul dan anak-anak tetap belajar. Saban hari ibu membuat tempe bungkus dan akulah satu-satunya anak yang tersisa yang bisa meringankankan kaki ibu agar tetap kokoh menyangga ekonomi keluarga. Pagi-pagi sekali saat semua anak-anak seusiaku masih pulas tertidur, aku sudah berangkat ke pasar bersama ibu menjajakan tempe buatannya.

Tentu aku sudah mandi dan berpakaian seragam SD karena menjelang matahari naik aku harus bergegas berangkat sekolah. Meninggalkan ibuku bersama dagangannya di pasar. Siangnya sepulang sekolah saat anak-anak lain tidur siang, aku tidak langsung pulang ke rumah tapi mampir ke pasar menunggu komando ibuku selanjutnya. Seperti hari-hari yang lain tugas utama sepulang sekolah adalah mengantar tempe ke warung kopi atau warung jajanan makan lainnya.

Setelah tugas utama membantu ibu selesai bukan berati aku bisa segera bergabung bersama teman-teman bermain petak umpet, lompat tali atau gobag sodor, aku punya tugas lain,'angon wedhus!' Iya, kambing juga butuh makan dan tak lain aku juga yang harus menuntun mereka ke sawah atau lapangan berumput agar mereka bisa makan, gemuk beranak pinak dan kelak laku dijual.

Aku merasa iri dengan teman sebayaku yang bebas bermain dan tak terbebani tugas membantu orang tua. Aku merasa ibu telah merenggut hidupku. Hingga aku lulus SMP kegiatan diatas aku lakoni dengan nestapa yang menggunung didadaku. Aku marah dengan hidup, mengapa Tuhan tidak adil. Di mana kasih sayang Tuhan, membiarkan aku dan keluargaku dirundung kemiskinan yang menjerat leher.

Hingga aku memutuskan untuk lebih berani menyabung hidup, mencari lagi janji-janji Tuhan bagi hamba yang tak berputus asa dan selalu berprasangka baik pada Tuhan. Aku merantau, merantau , merantau dan merantau . Aku ingin merubah nasib, nasib tak akan berubah kalau bukan kita yang berusaha berikhtiar memohon agar Tuhan mengubah nasib kita.

Di rantau aku semakin belajar memaknai hidup, bukan lagi menyalahkan nasib, tidak lagi menggerutu terhadap takdir karena banyak orang yang bernasib lebih tragis daripada aku. Di sini aku bisa lebih jernih mendengar tangis keluh kesah sahabat-sahabat yang dirundung malang, Lebih terang melihat nasib saudara-saudaraku yang sedang tertimpa musibah.

Baru aku sadari betapa ibuku telah mengajarkan banyak hal yang tak mampu dilakukan ibu-ibu yang lain. Ibuku wanita yang menginspirasi hidupku, memasukkan masa kanak-kanakku dalam kawah candradimuka agar aku sekuat Gatotkaca. Ibuku yang menempaku tetap kuat menghadapi hantaman badai. Ibu, mungkin bila dulu tak kau ajrkan aku menghadapi ganasnya ombak kehidupan barangkali kini aku sudah terhempas hanyut terbawa gelombang.

Karena hidup adalah serentetan gelombang kejut yang kadang kala tak sepenuhnya bisa kita mengerti tapi pasti tak bisa kita elakkan. Kita tak akan mampu memprediksi secara presisi apa yang akan terjadi esok hari. Jika hidup seumpama buku, kita hanya tahu persis isi halaman yang sudah kita baca dan tak akan pernah mampu menebak secara presisi halaman berikutnya sampai kita sendiri usai membacanya.

bimomukti the snowman for eny kurnia

0 comments:

Posting Komentar