Selasa, 04 Mei 2010

ke selatan aku menyelami samudera huruf-huruf hidup. berenang-renang di sela karang, berkelit dari kail para pemancing subuh. di selatan itu, muasal kisah-kisah Purwa, telah gempar oleh sampar hyang semar. dasar palung yang retak hendak mengguncang langit, menggugat kalimah-kalimah tunagramatika yang sengit dalam setiap lidah: begitu Sangit.

ke utara aku mendaki mehru huruf-huruf mati. bertebaran di guguran lahar dan batuan bara, bersiasat dengan abu sejarah dari tungku hasrat paling nyala. di puncaknya mengepul angan-angan swargaloka dewa-dewi yang luka. di puncaknya mengendap mantra-mantra api para empu yang terpenjara oleh dendam: kesumat tak kunjung redam.

ke timur aku menjaring silau fajar yang melahirkan kata-kata. berkicau sejak berkokok jago yang kini tak lagi tunduk pada matahari, sebab siang telah sesat dalam keramaian malam di tempat-tempat hiburan. lampu-lampu jalan menjelma tanda-tanda baca dalam kalimat-kalimat langit. begitulah dewa pembawa piala kencana bermula mengenal sakit mata. dan ke timurlah aku ingin kembali mengenal hakikat cahaya:-benderang paling purna.

ke barat aku memalingkan pejam mata, menghindar kutuk senja pembawa petaka. di batas terang dan malam itu seringai monster kala tak capai mengintai, mengendus syahwat yang bermula menghangat hingga malam gerah dalam lenguh dan wap peluh. kalimah-kalimah menggeliat ingin lepas dari larik-larik doa di kitab sarengat. ke barat aku memainkan arah jam ke sudut masa yang absen dari buih prosa: tawar dari racun bisa.

ke dalam aku terhisap dalam relung tanpa kenang tanpa berharap. musnah dalam kegelapan rindu yang membuncah: lesap.

0 comments:

Posting Komentar